Sesungguhnya, ia tak sengaja. Waktu itu ada misi yang harus dikerjakannya. Kesalahannya –kalau boleh dibilang begitu- hanya satu; ia tidak konsentrasi. Ia menoleh ke arah lain. Mengarahkan pandangannya ke rumah di kota itu; Madinah.
Ia
tengah menjalankan tugas dari Rasulullah SAW untuk suatu keperluan. Di tengah
jalan, "bencana" datang menyapanya. Sewaktu melayangkan pandang ke
salah satu rumah yang tidak tertutup pintunya, terlihatlah olehnya wanita yang
sedang mandi. Mungkin hanya dalam hitungan detik, bukan menit.
Wajahnya
mendadak pucat, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia segera berlari melewati rumah
demi rumah, kampung demi kampung, hingga keluar Madinah. Ia tiba di sebuah
padang pasir yang sepi. Di sana ia menangis sejadi-jadinya. Menyesali apa yang
telah dilihatnya. Dengan derai air mata dan suara yang tersisa ia memohon ampunan
Rabbnya.
Rasulullah
kehilangan sahabat ini untuk satu hari. Beliau bertanya-tanya, tetapi sahabat
yang lain tidak juga mengetahui keberadaannya. Hingga berlalulah empat puluh
hari. Akhirnya malaikat datang mewahyukan di mana ia berada. Umar dan Salman
ditugasi Sang Nabi untuk menjemputnya.
Dengan
susah payah Umar berhasil menemukannya. Ia memeluk sahabat itu penuh rindu.
“Wahai Umar, tahukah Rasulullah SAW tentang dosaku", tanyanya penuh
kekhawatiran. “Aku tidak tahu permasalahan itu. Yang jelas, Rasulullah
menugaskan kami untuk mencarimu.”
“Wahai
Umar, satu permohonanku padamu. Jangan kau bawa aku menghadap Rasulullah,
kecuali ketika beliau sedang shalat.”
Sesampainya
di Madinah dan mendapati Rasulullah membaca Al-Qur'an dalam shalatnya, sahabat
ini pingsan. Ia jatuh sakit hingga berhari-hari. Ketika Rasulullah tahu
kondisinya dan menjenguk ke sana, ia masih saja khawatir akan dosanya. “Apa
yang kau rasakan?” Rasulullah bertanya kepada sahabat yang kini telah berada
dalam pangkuannya ini. “Seolah semut merayap di antara tulangku, dagingku dan
kulitku”.
“Apa
yang kau inginkan?” tanya beliau lagi. “Ampunan Rabbku”, jawabnya penuh harap.
Tak lama kemudian Jibril menyampaikan wahyu, “Wahai Muhammad, Rabbmu
mengirimkan salam untukmu. Dia berfirman padamu, ‘Seandainya hambaKu ini datang
padaKu dengan kesalahan yang memenuhi bumi, tentulah Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebanyak itu pula.”
Ketika
Rasulullah SAW memberitahu wahyu ini kepadanya, sahabat ini meninggal seketika.
Namanya Tsa'labah.
Tsa'labah.
Ia mengajarkan kepada kita untuk bertaubat, bahkan dari kemaksiatan yang –oleh
orang di zaman sekarang- tidak dianggap. Ia mengajarkan kepada kita untuk
bertaubat, meskipun dari kesalahan yang sebenarnya tidak disengaja.
Ah...
memang begitulah orang-orang shalih itu selalu mempesona. Mereka memiliki
ketakutan yang luar biasa kepada Tuhannya hingga senantiasa sensitif terhadap
dosa. Dan dari sana ia bergerak cepat menuju keridhaan Rabbnya. Bertaubat,
mengejar akhirat. Dunia seakan dicampakkan begitu saja. Dan pada akhirnya...
itu membawa mereka ke surga.
Beruntunglah
Tsa'labah... dan orang-orang shalih yang mengambil jalan yang sama; taubatan
nasuha. Ia tidak berapologik bahwa itu bukan kesalahannya; justru ia sangat
cemas bahwa apa yang dilihatnya, meskipun tidak lama, sudah masuk pada tataran
zina. "…Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah
zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh,…" sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim ini demikian menancap di jiwa, menggerakkannya
untuk bertaubat saat itu juga.
Beruntunglah
mereka yang menyadari kesalahannya, atau bahkan merasa bersalah meskipun tidak
sengaja, lalu menghampiri ampunan Allah dengan taubatnya. “Setiap bani Adam
(pernah) berbuat salah," sabda Rasulullah dalam kesempatan lain yang
direkam oleh Imam Tirmidzi, "dan sebaik-baik orang yang berbuat salah
adalah orang-orang yang bertaubat.”
Mungkin
ada orang-orang yang memandang orang Shalih seperti Tsa'labah dengan tatapan
hina. Menjustifikasinya sebagai orang yang melakukan kesalahan besar. Mungkin
disebabkan mereka tidak tahu, bahwa justru dari kesalahan itu ia memperoleh
derajat mulia di sisi Rabbnya. Dari kacamata dunia mungkin "sejarah"
Tsa'labah berakhir di sana; ia menyendiri, sakit, lalu mati. Namun dalam
pandangan Allah, Rasul-Nya, kemudian kaum mukminin yang ditunjukkan Allah akan
hakikatnya, Tsa'labah memperoleh keberuntungan luar biasa; ridha Allah dan
surga-Nya.
Ya
Allah... jadikanlah kami hamba-hambaMu yang bertaubat, janganlah Engkau
benamkan kami dalam golongan orang-orang yang mencari kesalahan saudara kami
dan merasa lebih baik dari mereka yang telah menangisi kesalahannya, menyesali
dosanya, dan bersimpuh pada-Mu dengan taubat nasuha...
Ya
Allah... jika hari ini kami masih dinilai mulia oleh manusia, itu hanya karena
Engkau tidak membuka semua aib diri ini kepada mereka. Maka tutupilah aib kami
yang telah terukir di masa lalu dengan ampunanmu... lindungilah kami dari aib
baru dengan taqwa kepadaMu.
Ya
Allah... janganlah Engkau uji kami dengan ujian yang kami tidak sanggup
memikulnya. Jangan biarkan hambaMu ini sendirian dalam menghadapi beratnya
kehidupan dunia yang sering menyeret jiwa dalam lembah noda, memelesetkan kaki
dalam jerembab dosa, atau membuat kami terpelanting dalam jurang nista...
Ya
Rabb... jika Engkau nampakkan kesalahan kami untuk memperbaiki kami, jadikanlah
kami ridha menerimanya dengan segera bertaubat kepadaMu dan meningkatkan
kualitas diri kami. Namun jika apa yang menimpa saudara-saudara kami seiman
adalah tipu daya, sungguh... hanya kepada-Mu kami mengadukan kelemahan kami,
kurangnya kekuatan kami, dan rapuhnya siasat kami berhadapan dengan manusia.
Wahai
Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkaulah Pelindung bagi orang
lemah, dan Engkau jualah pelindung kami! Kepada siapakah kami hendak Engkau
serahkan? Kepada orang-orang yang tidak menyukai kami, ataukah kepada musuh
yang akan menguasai diri kami? Jika Engkau tidak murka kepada kami, maka itu
semua tak kami hiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau
limpahkan kepada kami. Kami berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang
menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari
murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepada kami. Hanya Engkaulah yang berhak
menegur dan mempersalahkan diri kami hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya
dan kekuatan apapun melainkan atas perkenan-Mu”.
Alaahumma
aamiin. [Muchlisin]
Sumber
: http://www.bersamadakwah.com/2011/04/bertaubat-dari-zina-mata-mengantarnya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar